Advertisement

Responsive Advertisement

Ricardo: Berdakwah di Kandang Singa

Ricardo: Berdakwah di Kandang Singa

Nadeem Ricardo Syahriel Breed
(Da'i Muda Asal Belanda)

Dulu yang terpenting dalam hidupku adalah main perempuan dan main bola. Tetapi setelah bertemu Idris, semuanya kutinggalkan.

Namaku Ricardo. Aku lahir di Desa Himskefc, Belanda pada 2 Januari 1987. Terlahir sebagai Muslim, karena kedua orang tuaku beragama Islam. Ibuku Muslimah dari Indonesia, keturunan Padang yang terlahir di Jakarta dan tinggal di Purwakarta. Ayahku orang Belanda. Ketika ia bertugas ke Indonesia mereka bertemu dan saling jatuh cinta. Ayah masuk Islam dan menikahi ibu. Kemudian mereka berdua pindah ke Belanda. Di Belanda lahirlah kakak perempuanku. Beberapa tahun kemudian lahirlah aku. Aku terlahir kembar dengan saudaraku yang bernama Mikael.

Sayangnya, keluargaku termasuk keluarga yang awam akan ajaran Islam. Bayangkan, aku dan saudara kembarku sejak usia 6-12 tahun dimasukkan ke sekolah gereja. Kemudian aku melanjutkan ke sekolah yang lebih tinggi di sekolah umum. Wajar bila aku sangat awam dengan ajaran Islam, bahkan shalat lima waktupun tidak pernah aku lakukan. Ya, seperti layaknya remaja Belanda lainnya, aktivitasku sehari-hari di luar sekolah adalah main perempuan dan main bola. Tidak jarang pula mabuk-mabukan dan berjoget di diskotik.

Ketika usiaku lewat dari 17 tahun aku berpikir dan merasa sedih, mengapa hidupku seperti ini? I feel something missing in my heart. Karena itu aku mulai mencari-cari kebenaran. Yang benar itu apakah ajaran gereja atau ajaran Islam. Mikael pun merasakan hal yang sama. Maka kami putuskan, aku pelajari Bible dan Mikael pelajari Alquran. Kemudian kami membandingkannya.

Bertemu Mualaf

Ketika aku berumur 18 tahun, aku shalat Idul Fitri di Masjid Al-Hikmah KBRI di Deen Haag. Usai shalat, ternyata tidak semua orang langsung pulang. Aku melihat ada beberapa kerumunan kecil laki-laki dan perempuan, kebanyakan dari mereka adalah orang Indonesia. Ada seorang lelaki yang sedang ceramah di situ. Kupikir inilah kesempatan yang tepat buatku untuk mempelajari Islam lebih lanjut, maka aku dan Mikael pun duduk di barisan laki-laki dan banyak bertanya kepada ustadz yang berceramah itu.

Rupanya salah seorang perempuan yang duduk di belakang memperhatikanku. Perempuan itu berbicara dalam bahasa Indonesia dengan ustadz tersebut. Aku tidak tahu apa yang mereka bicarakan. Usai mendengarkan ceramah aku keluar. Kemudian perempuan ini, mengejar dan menemui kami berdua lalu berkata, “Saya punya suami. Suami saya tahu banyak tentang Islam. Maukah kalian berdiskusi dengannya?” Tentu saja kami menerima tawaran itu.

Kemudian ia pun mengatur jadwal pertemuan kami dengan suaminya. Aku kaget sekali ketika dipertemukan dengan suaminya, “Kenapa ini orang Belanda, kita mau belajar apa dari orang Belanda?” bisikku kepada Mikael. Ia pun memperkenalkan diri, namanya Idris de Vris, usia 26 tahun. “Wah, aku dipermainkan perempuan Indonesia itu,” sangkaku. Tadinya kukira aku akan bertemu dengan seorang Indonesia, Maroko atau Turki, tetapi malah aku dipertemukan dengan lelaki bule. Dan yang semakin membuatku kaget, dia baru dua tahun masuk Islam!

Namun aku begitu terpukau mendengar pemaparan Islam yang dia sebut sebagai thariqul Iman, jalan menuju keimanan. Begitu jelas dan sangat masuk akal caranya dia menjelaskan bahwa hidup di dunia ini untuk apa? Dari mana? Dan mau ke mana? Ia menjelaskan secara rinci bahwa Alquran itu benar-benar wahyu dari Allah SWT yang menciptakan manusia, alam semesta dan kehidupan. Ia buktikan pula, dengan sangat masuk akalku, bahwa Muhammad SAW adalah Nabi dan utusan Allah SWT. Begitu juga dengan Yesus. Yesus ternyata bukan Tuhan tetapi Nabi Isa alaihissalam dan utusan Allah SWT juga.

Ternyata Idris bisa begitu paham karena ia sangat rajin belajar Islam. Pengetahuannya tentang Islam sangat luar biasa. Sampai aku pun terpukau ketika ia menjelaskan thariqul iman itu. Dia rutin menemuiku setiap Minggu, padahal butuh waktu dua jam perjalanan menggunakan mobil dari rumahnya di Belgia menuju tempat tinggalku. Pemahaman kami pun semakin bertambah. Ia menjelaskan bahwa komunisme itu keliru, kapitalisme juga salah, sehingga bagi manusia yang berakal sehat tidak ada pilihan lain selain beriman kepada Islam dan berusaha untuk menerapkan Islam dalam berbagai aspek kehidupan.

Awalnya aku sangat sulit memahami pembahasan mabda' (ideologi), fikrah (pemikiran), dan thariqah (metode) Islam itu. Kemudian sedikit-demi sedikit aku mulai paham. Ini membuat pandanganku tentang kehidupan ini berubah. Dulu yang terpenting dalam hidupku adalah main perempuan dan main bola. Tetapi setelah bertemu Idris, main bola menjadi tidak penting lagi bagiku. Main perempuan, diskotik dan mabuk itu haram! Semuanya kutinggalkan. Alhamdulillah, sampai detik ini aku tidak pacaran lagi. Aku hanya ingin menikah saja, pada saatnya nanti, dengan Muslimah shalihah tentunya. Aku pun selalu shalat lima waktu. Begitu juga dengan Mikael.

Ingin Bergabung

Idris menyebutkan bahwa ia anggota Hizbut Tahrir Belanda. Aku pun mengatakan ingin menjadi anggota. Namun Idris bilang, harus menjadi darisin dulu yakni orang yang mempelajari pemahaman politik Islam yang diadopsi HT, dari buku-buku HT yang diajarkan langsung oleh anggota HT, sebelum memutuskan untuk menjadi anggota atau tidak. Kitab yang pertama dikaji adalah Nizamul Islam, Peraturan Hidup dalam Islam. Idris menyuruhku untuk selalu berdakwah, berdiskusi dengan siapa saja yang mau diajak berpikir tentang kebenaran. Itu adalah ujian buatku apakah aku nantinya layak atau tidak bergabung menjadi anggota HT. Sayangnya, saat itu, Mikael ragu dan tidak mau menjadi darisin.

Alhamdulillah, beberapa bulan kemudian, ia berubah pikiran. Menjelang Konferensi Khilafah Internasional di Indonesia pada Agustus 2007 silam, Mikael menangis setelah menonton VCD Ila Mata? (Sampai Kapan?) yang membahas masalah penderitaan kaum Muslim setelah runtuhnya Khilafah Islam. Ia menyadari ternyata kaum Muslim di Palestina, Irak, Aghanistan dan berbagai daerah lainnya begitu mudah dijajah oleh negara-negara kafir kapitalis dan komunis paska runtuhnya kepemimpinan Islam itu. Ia pun ingin ambil bagian untuk menyadarkan manusia bahwa sistem Islam dalam naungan Khilafahlah sistem yang benar untuk mengatur kehidupan manusia, bukan sistem lainnya. Kemudian iapun menjadi darisin.

Aku bangga sekali kepada syabab di Indonesia. Karena di Indonesia bisa besar begitu ya… dapat menghadirkan 100.000 orang dalam konferensi itu. Sayang sekali aku tidak bisa datang, ongkosnya ke Indonesia mahal sekali. Kami berdoa dan memohon kepada Allah SWT, agar Khilafah segera tegak dan dimulai di Indonesia. Dakwah di Belanda susah sekali seperti dakwah di kandang singa. Namun aku tidak berputus asa. Terus mengembangkan berbagai uslubnya (cara). Alhamdulillah, akhirnya aku diterima menjadi anggota Hizbut Tahrir Belanda. Dan ini membuatku semakin bersemangat untuk terus menyadarkan umat.[] joko prasetyo
http://www.mediaumat.com/content/view/650/2/