Advertisement

Responsive Advertisement

Menyoal Gelar Bapak Pluralisme

Menyoal Gelar Bapak Pluralisme

altMeninggalnya KH. Abdurrahman Wahid yang akrab disapa Gus Dur seolah menjadi “berkah” tersendiri bagi kaum sepilis dan orang-orang non muslim. Di dalam berbagai pernyataan seputar duka cita atas meninggalnya mantan ketua PBNU itu, mereka memuji-muji Gus Dur sebagai Bapak Pluralisme Indonesia. Tulisan ini tentu tidak hendak menyoal pantas tidaknya Gus Dur sebagai Bapak Pluralisme Indonesia.   

Justru tulisan ini ingin mendudukkan persoalan apakah layak seorang tokoh pimpinan ormas Islam menjadi tokoh pluralisme mengingat Majelis Ulama dalam fatwanya nomor: 7 /Munas VII/MUI/2005 telah mengharamkan umat Islam mengikuti paham Pulralisme, Sekularisme, dan Liberalisme agama.  
   
“Pluralisme Agama” yang menjadi obyek fatwa MUI tersebut adalah suatu paham yang mengajarkan bahwa semua agama adalah sama dan karenanya kebenaran setiap agama adalah relatif; oleh sebab itu, setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim bahwa hanya agamanya saja yang benar sedangkan agama yang lain salah. Pluralisme agama juga mengajarkan bahwa semua pemeluk agama akan masuk dan hidup berdampingan di surga.

Paham tersebut dinyatakan bertentangan dengan Islam dan diharamkan bagi umat Islam mengikutinya berdasarkan sejumlah dalil antara lain firman Allah SWT: “Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam…”. (QS. Ali Imran [3]: 19).

Juga firman-Nya: “Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi”. (QS. Ali Imran [3]: 85)

Serta sabda Rasulullah saw.: “Demi Dzat Yang menguasai jiwa Muhammad, tidak ada seorang pun baik Yahudi maupun Nasrani yang mendengar tentang diriku dari umat Islam ini, kemudian ia mati dan tidak beriman terhadap ajaran yang aku bawa, kecuali ia akan menjadi penghuni neraka”. (HR. Muslim).

Juga riwayat dalam Shahih al-Bukhari yang menyebut Nabi saw. mengirim surat-surat dakwah kepada orang-orang nonmuslim, antara lain Kaisar Heraklius, Raja Romawi yang beragama Nasrani, al-Najasyi raja Abesenia yang bergama Nasrani dan Kisra Persia yang beragama Majusi, di mana Nabi mengajak mereka untuk masuk Islam.

Tentu saja fatwa itu membuat kaum sepilis kebakaran jenggot. Direktur ICIP Syafii Anwar, menilai MUI salah dalam memahami pluralisme dan mengkhawatirkan fatwa tersebut sebagai ancaman terhadap toleransi antaragama di Indonesia (www.suaramerdeka.com).  Pentolan JIL Ulil Abshor Abdalla menyebut fatwa Ahmadiyah yang satu paket dengan fatwa haramnya mengikuti paham sepilis (sekularisme, pluralisme, dan liberalisme agama) tersebut sebagai fatwa yang konyol dan tolol (www.detik.com).  Sejak itu perang opini dalam berbagai persoalan antara kaum liberal vs para aktivis umat Islam pun terus berlangsung hingga hari ini  

Satu hal yang harus diingat bahwa paham sepilis memang satu paket dan diprogandakan untuk menskularisasi dunia Islam.  Dengan paham pluralisme yang dipaksakan kepada umat Islam, mereka menempatkan semua agama sama di dalam satu kotak. Dan dengan paham sekularisme yang juga dipaksakan kepada umat Islam, semua agama itu ditempatkan dalam satu kotak  yang berbeda dengan kotak negara dan tidak boleh mencampuri urusan negara. Sebaliknya negara tidak boleh campur tangan urusan agama.  

Tentu saja pengkotakan seperti itu tidak sesuai dengan dinul Islam.  Sebab Islam bukan sekedar agama ritual, tapi juga mengandung hukum-hukum syariat yang mengatur aspek-aspek ekonomi, hukum, dan politik pemerintahan, serta aspek-aspek kehidupan lainnya sehingga Islam tidak bisa dipisahkan dengan negara.  Islam adalah system kehidupan, termasuk di dalamnya aturan tentang ketatanegaraan.

Oleh karena itu, untuk memuluskan strategi pengkotakan tersebut atas umat Islam, disebarkanlah paham liberalisme yang di dalam fatwa MUI tersebut dikatakan sebagai paham yang memahami nash-nash agama  (Al Quran dan As Sunnah) dengan menggunakan akal pikiran yang bebas.

Karena negara ini di-set up dengan system ideology sekuler, dengan menerapkan sistem sosial politik dan ekonomi kapitalis sekuler, maka propaganda tersebut mendapat dukungan negara.  Kaum sepilis pun selalu mendapat angin dari pemerintah, asing, dan kaum non muslim.  Gus Dur sebagai salah satu dedengkot mereka selalu menjadi sandaran. Wajarlah kalau kematiannya mereka tangisi lalu mereka puja-puji  dan mereka gelari sebagai Bapak Pluralisme Indonesia.  

Hanya saja bagi kalangan Nahdliyyin yang mau jujur, khususnya mereka yang menjadi pengurus MUI dan terlebih yang mengeluarkan fatwa MUI di atas, maka kematian Gus Dur haruslah menjadi momentum untuk mengoreksi pandangan-pandangan beliau yang sebagai manusia tidak lepas dari khilaf dan salah.  Dan kaum Nahdliyyin mestinya menolak gelaran Bapak Pluralisme itu mengingat MUI sudah memfatwakan umat Islam haram mengikuti paham pluralisme.  

Para ulama sebagai waratsatul anbiya harus tetap istiqomah dalam posisi sebagai pengawal kebenaran agar kebenaran tidak dipermainkan. Allah SWT mengingatkan kita dengan firman-Nya:  “Andaikata kebenaran itu menuruti hawa nafsu mereka, pasti binasalah langit dan bumi ini, dan semua yang ada di dalamnya …”. (QS. al-Mu’minun [23]: 71).


Wallahul muwaffiq ila aqwamit thariiq!


SUMBER : http://www.suara-islam.com/index.php?option=com_content&view=article&id=474:menyoal-gelar-bapak-pluralisme&catid=38:komentar-mak&Itemid=80