Advertisement

Responsive Advertisement

Rumah Sakit Mitra Internasional (RSMI) Berbohong

RSMI Berbohong

alt
Prof. Dr. Hj Huzaemah Tahido Yanggo, MA
(Guru Besar Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syahid Jakarta)


Sangatlah tragis ! Di negara dengan 88,5 persen rakyatnya beragama Islam bahkan menjadi negara Islam terbesar di dunia, umat Islam sulit menjalankan syariat agamanya, meski telah dijamin Konstitusi.

Betapa tidak, gara-gara mengenakan kerudung atau berjilbab, sebuah rumah sakit bertaraf internasional milik pengusaha Kristen Australia, dengan sikap otoriter dan arogan serta dipenuhi semangat misionaris yang berkobar-kobar penuh kebencian terhadap umat Islam, nekat melakukan PHK terhadap tiga pegawainya yang muslim.

Padahal Rumah Sakit Mitra Internasional (RSMI) di Jatinegara Jakarta Timur itu selama 20 tahun ini “mencari makan” diantara rakyat Indonesia yang mayoritas muslim. Bahkan dapat dipastikan mayoritas pasien RSMI adalah umat Islam dari Jakarta dan sekitarnya.

Jika para pimpinan RSMI baik di Indonesia maupun pusatnya di Australia memiliki harga diri dan rasa malu, seharusnya sudah sejak dari dulu mereka hengkang dari Indonesia dan pindah ke negara lain yang mayoritas Kristen seperti Filipina, Eropa ataupun AS. Mereka tidak berhak lagi mencari sesuap nasi di negara yang mayoritasnya umat Islam, jika mereka masih memiliki rasa dendam dan kebencian terhadap Islam dan umat Islam Indonesia.

Hal ini menunjukkan terjadinya penindasan minoritas yang merasa berkuasa dan memiliki dana besar terhadap mayoritas yang dianggap lemah. Tidak dapat dibayangkan, bagaimana jadinya jika umat Islam menjadi minoritas di Indonesia, niscaya nasibnya tidak akan lebih baik dari umat Islam di Filipina Selatan yang terus menerus dibantai para penguasa Katholik di Manila dengan bantuan AS.

Alhamdulillah, meski Belanda Kristen telah menjajah Indonesia selama 350 tahun, namun mereka gagal mengkristenkan bangsa Indonesia. Jadi sesungguhnya NKRI tetap tegak dan penuh dengan toleransi selama ini bukan karena Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika, tetapi karena umat Islam tetap mayoritas.  

Sementara itu dalam kasus PHK RSMI ternyata ditemukan adanya kasus kebohongan dari pimpinan RSMI, dimana seolah-olah jilbab versi mereka yang tidak Islami itu direstui MUI melalui selembar sertifikat. Meski MUI mengeluarkan sertifikat, tetapi MUI tetap menganjurkan agar pegawai RSMI tetap diperbolehkan memakai jilbab termasuk kerudung yang tidak dimasukkan ke dalam baju dan baju berlengan panjang. Tetapi ternyata dengan dalih sertifikat dari MUI itu, pimpinan RSMI yang Kristen itu dengan kejamnya melakukan PHK terhadap tiga pegawainya yang Islam dan berjilbab.

Berikut ini wawancara dengan Prof Dr Hajjah Huzaemah Tahido Yanggo MA, Guru Besar Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, seputar kasus PHK di RSMI jika dipandang dari Syariah Islam dan hukum positif yang berlaku di Indonesia dan bagaimana batasan jilbab dan kerudung menurut Syariah Islam.

Bagaimana tanggapan anda mengenai kasus PHK tiga pegawai Rumah Sakit Mitra Internasional (RSMI) Jakarta gara-gara mengenakan jilbab ?

Jika dipandang dari segi hukum Islam maupun UUD 1945, maka setiap orang bebas menjalankan ajaran agamanya sesuai dengan keyakinannya.

Apa itu merupakan bentuk diskriminasi yang dilakukan pimpinan RSMI ?

Bukan diskriminasi, sebab itu peraturan buatan manusia yang bisa dirubah, sedangkan peraturan Allah SWT tidak akan bisa dirubah. Memang dalam Islam tidak ditentukan bagaimana model pakaian, tetapi yang penting menutup aurat. Mereka yang di PHK itu menginginkan tertutup dadanya, sebagaimana disebutkan dalam Surat Al Ahzab ayat 59. Jadi kalau jilbab dimasukkan ke leher itu  belum cukup tetapi baru setengah dan belum sempurna.

Mereka juga dilarang pihak RSMI mengenakan baju lengan panjang, dengan alasan bagian medis tidak boleh dikarenakan bisa tertular penyakit. Bagaimana komentar anda ?

Saya kira itu hanya masalah teknis saja. Seperti ketika dalam operasi bisa saja menganggu, sehingga tidak dikenakan. Seperti dalam Fiqih Syafi’i dikemukakan, waktu bekerja bisa diangkat lengan bajunya. Pada saat itu boleh mengenakan tangan pendek waktu operasi. Tetapi kalau dalam keadaan biasa, kenapa harus dipaksakan ? Dalam situasi darurat dibolehkan, seperti orang masuk ke sawah. Jika celana panjangnya tetap dikenakan, bisa kotor oleh lumpur sehingga perlu disingsingkan. Meski mereka bekerja di bagian medis, tetapi sewaktu-waktu bisa juga mereka tidak melakukan kegiatan medis, sehingga perlu mengenakan baju lengan  panjang.

Sebagai seorang pakar hukum, apakah sangsi PHK itu merupakan pelanggaran terhadap HAM ?


Jelas pihak RSMI telah melanggar HAM, apalagi jika dipadang dari Syariah Islam.

Mengapa umat Islam Indonesia sulit melaksanakan Syariah Islam, padahal dikhususkan berlaku hanya untuk umat Islam saja ?

Sebenarnya tidaklah sulit. Ada orang yang mengaku Islam, tetapi prakteknya berbeda-beda. Seperti di Aceh, meski diberlakuan Hukum Islam ternyata masih simpang siur, padahal jelas berlaku Syariah Islam. Karena masih ada yang salah memahaminya. Misalnya ada Qonun yang mengatakan perempuan tidak boleh  memakai celana panjang, ketika ada yang memakai terus ditangkap. Padahal mereka memakai blus pendek atau panjang yang belum jelas, sehingga penerapannya masih simpang siur.

Jika ada orang yang mengatakan Hukum Islam kejam seperti dalam hukum rajam bagi pezina dan qishash bagi pembunuh. Bagaimana komentar anda ?

Sebetulnya ajaran Islam justru untuk memberikan pelajaran bagi orang lain. Kalau dibilang Hukum Islam kejam, jelas tidak benar. Misalnya kasus pembunuhan, maka hukumannya di bunuh atau di qishash. Itu kan ada syaratnya. Kalau memang sengaja atau sudah direncanakan orangnya atau ada permusuhan antara keduanya atau membunuh dengan alat mematikan, baru dilakukan hukum qishash. Qishash artinya hukuman yang setimpal sesuai dengan perbuatannya.

Ketika dia membunuh orang lain yang tidak berslaah, dia melanggar HAM apa tidak ! Begitu hukum diterapkan dibilang melanggar HAM, padahal ketika dia membunuh dikatakan tidak melanggar HAM, jelas itu sepihak dan tidak adil. Menjadikan orang jera dengan perbuatan seperti itu, dalam Al Qur’an dikatakan dalam qishash ada suatu kehidupan. Menjadi pelajaran bagi orang lain yang akan berbuat membunuh, sehingga orang lain tidak mati seperti orang yang dia bunuh.

Seperti dalam  kasus pencurian  dipotong tangan, dibilang kejam. Padahal definisi pencurian adalah yang mengambil harta orang lain adalah orang mukallaf. Kalau anak-anak atau orang gila mencuri tidak dipotong tangan. Jadi yang diambil harta orang lain. Kalau harta pamannya, tidak dipotong tangan. Siapa tahu dia hidupnya susah, padahal ada kewajiban membantu keluarga. Jadi membantu kerabat dalam berbuat baik lebih utama, sehingga tidak dipotong tangan karena dianggap subhat.

Dalam Hadis Nabi Muhammad SAW dikatakan, hindarilah hukuman yang nadanya subhat (keragu-raguaan). Dalam kaidah Fiqh dikatakan, salah dalam memaafkan lebih baik daripada salah dalam menjatuhkan hukuman. Jadi asas praduga tak bersalah lebih diutamakan dulu. Mencuri secara sembunyi-sembunyi, jika mengambilnya secara terang-terangan, maka  hukumannya lain karena bisa dianggap perampok sehingga masuk dalam hukuman hirabah. Juga harta yang dicuri jika disimpan dalam tempat penyimpanannya dalam brankas  atau lemari, termasuk kejahatan hipnotis serta membobol bank yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi.

Jika mengambil barang tetapi ada penjaganya seperti mengambil bahan-bahan bangunan ditempat terbuka dengan cara memanfaatkan kelengahan orang lain, maka ini dianggap pencurian. Jika mencapai satu nisab, maka harus dipotong tangannya. Tetapi kalau tidak ada penjaganya, maka tidak termasuk pencurian dan hukumannya ta’zier atau sangsi yang diserahkan kepada hakim sesuai dengan berat ringannya tindak pidana yang dilakukannya.

Hukum Pidana Islam di Indonesia belum berlaku, sedangkan yang sudah berlaku seperti hukum ibadah, muamalah, pernikahan, Pengadilan Agama tetapi masih terbatas perdata. Tetapi sebetulnya hukum dalam  kasus pidana sudah dilaksanakan, namun masih sebatas hukuman ta’zier seperti hukuman penjara. Sedangkan yang belum berlaku hanya qishash termasuk rajam, potong tangan dan jilid atau cambuk.

Kalau kita kembali ke persoalan PHK, katanya pihak RSMI telah memiliki sertifikasi dari MUI mengenai jilbab versi mereka ?

Sertifikasi apa ! Kalau masalah sertifikasi tidak ada, karena hanya menyangkut makanan, minuman dan obat-obatan, bukan masalah pakaian. Mereka itu bohong ! Mereka sendiri yang minta supaya jilbabnya dimasukkan, tetapi dari pihak MUI tidak ada ketentuan jilbabnya harus dimasukkan. Itu sebenarnya aturan  mereka sendiri. MUI tidak pernah memberi restu seperti itu. Aturan yang membuat kan mereka juga, bukan MUI. Jadi sudah  ada benarnya, tetapi baru setengah dan belum sempurna.

Apa berarti pihak RSMI telah memanipulasi sertifikasi MUI ?

Ya ! Tidak ada MUI memberi sertifikasi. Untuk sertifikasi itu tidak ada.

Bagaimana menurut anda, sebaiknya langkah apa yang harus dilakukan RSMI terhadap pegawainya yang berjilbab ?

Jangan sampai di PHK ! Sebaiknya kalau sedang bekerja merawat pasien bisa memakai baju pendek. Tetapi jika tidak sedang bekerja, sebaiknya RSMI membolehkan tenaga medisnya memakai jilbab yang tidak dimasukkan dan memakai baju lengan panjang. Ketika menanggani kelahiran agar tidak menganggu, memang sebaiknya memakai baju lengan pendek. Tetapi ketika piket dan hanya duduk santai saja, maka wajib memakai baju lengan panjang. Pihak RSMI harus bijaksana dalam melihat kinerja pegawainya. Bisa juga mereka ditempatkan di bagian lain bukan bagian medis. Kalau memakai kerudung, saya kira tidak menganggu meski dia sedang menanggani pasien.

Bagaimama sebenarnya jilbab yang dianjurkan dalam Islam ?


Orang Indonesia biasanya salah kaprah. Adapun yang menutup kepala dan leher serta dada itu namanya khimar (kerudung). Tetapi orang Indonesia menamakannya jilbab. Tetapi kalau jilbab adalah pakaian yang sudah ada tetapi digunakan untuk menutup pakaian lagi.

Kalau cadar bagaimana, apakah tidak berlebihan?

Ada perbedaan pendapat para ulama dalam batas aurat  perempuan ketika berhadapan dengan bukan mahramnya. Kalau Jumhur Ulama mengatakan hanya wajah dan kedua telapak tangan yang bukan aurat. Alasannya, kalau memakai kerudung kan terlihat mukanya dan telapak tangannya. Juga waktu sholat dan ihram, muka dan kedua telapak tangannya kelihatan. Justru tidaklah sah sujud kalau tertutup mukanya. Tetapi kalau ditutup semua lebih baik, tetapi juga boleh dibuka. Imam Syafii dan Imam Maliki termasuk mengikuti pendapat Jumhur Ulama.

Kalau Imam Abu Hanifah berbeda dengan menambahkan kedua telapak kaki tidak termasuk aurat. Alasannya, kalau wajah saja dimana orang dapat melihat kecantikannya boleh dibuka karena kebutuhan mendesak, maka telapak kaki lebih diperbolehkan lagi untuk dibuka karena orang tidak tergoda melihat mata kaki.

Kalau Imam Ahmad bin Hambal berpendapat bahwa seluruh tubuh wanita adalah aurat, sehingga harus ditutup semua. Padahal ada Hadis yang mengecualikannya. Merakalah yang memakai cadar, seperti Wahabi di Arab Saudi.

Sedangkan Imam Ad Dhahiri, berpendapat semua tubuh wanita adalah aurat kecuali wajahnya saja. Kedua telapak tangan termasuk bagian dari badan sehingaa wajib ditutup. Maka ada wanita yang memakai sarung tangan.

Sebetulnya perbedaan pendapat ini adalah perbedaan dalam menafsirkan ayat “walla yubdiina ziinatahuna illa ma dhoharo minha” dalam Surat An Nuur ayat 31: “meraka tidak boleh menampakkan auratnya kecuali yang biasa tampak”. Adapun yang biasa tampak yang mana ? Sehingga terjadilah empat pendapat diatas. Sedangkan Imam Ahmad bin Hambal berpendapat tafsir ayat  itu berarti tampak yang tidak sengaja, seperti pakaian yang nyangkut atau kerudungnya terbang dibawa angin dan sebagainya.

Kalau Mahzab Syiah sama dengan pendapat Jumhur Ulama. Mahzab Syiah terpecah dalam 20 sekte, yang terbesar Syiah Zaidiyah dan Syiah Imamiyah. Seperti Nikah Mut’ah, Syiah Zaidiyah mengharamkannya, sama dengan Sunni. Kalau Syiah Imamiyah membolehkan karena keadaan darurat, meski mereka tidak melaksanakannya. Tetapi Iran sekarang telah memilki UU Pernikahan, dimaan harus ada Wali dan Saksi. Kalau Nikah Mut’ah  boleh tidak ada Wali dan Saksi. Adapun perbedaan Nikah Mut’ah dengan Zina, kalau Nikah Mut’ah ada akadnya sedangkan Zina tidak ada akadnya.

Memang Nikah Mut’ah pernah dibolehkan pada awal Islam karena pasukan Islam sedang Perang Khaibar selama berbulan-bulan dengan meninggalkan isterinya. Tetapi setelah itu diharamkan Nabi SAW hingga hari kiamat. Jadi yang melarang bukanya Umar bin Khattab, tetapi Nabi SAW sendiri. Bahkan Ibnu Abbas dulunya juga membolehkan, tetapi ketika mendengar Nikah Mut’ah diharamkan, maka ia menarik pendapatnya kemudian  mengharamkannya.

Sebagai ahli hukum Islam, bagaimana saran anda kepada pihak RSMI yang melakukan PHK terhadap pegawainya yang berjilbab ?

RSMI hendaklah bijaksana menetapkan aturan, karena memang ajaran Islam mewajibkan perempuan berjilbab. Dalam kriteria pakaian harus menutup aurat dan tidak menampakkan lekuk tubuh. Namun kalau bagian kerjanya harus memerlukan baju lengan pendek dibolehkan, tetapi kalau kerudung saya kira tidak akan menganggu pekerjaannya sebagai tenaga medis.

Bagaimana saran anda terhadap Pemerintah dengan banyaknya kasus perempuan berjilbab yang di PHK ?

Ketika terjadi kasus jilbab yang menyebabkan sejumlah siswi dikeluarkan dari sekolahnya, sebetulnya telah ada keputusan Menteri Pendidikan tentang Jilbab dengan diperbolehkan memakai sesuai dengan keyakinannya. Sebab hal itu sesuai dengan Pasal 29 UUD 1945. Sehingga siswi tidak lagi dikeluarkan dari sekolahnya. Seharusnnya pegawai rumah sakit yang mengenakan jilbab, tidak dikeluarkan dari tempat kerjanya atau di PHK. (Abdul Halim)


Biodata Prof. Dr. Hj. Huzaimah T. Yanggo, MA

alt
Sangatlah jarang ditemui seorang perempuan menjadi Ketua MUI Pusat, salah satunya adalah Hajjah Huzaemah. Hal itu tidaklah mengherankan, sebab ahli perbandingan mahzab ini adalah Doktor dalam Figh Perbandingan (Fiqh Maqarin), Jurusan Fiqh dan Ushul Fiqh, Fakults Kajian Islam dan Bahasa Arab Universitas Al Azhar, Kairo, Mesir tahun 1984. Boleh dikatakan Hajjah Huzaemah menjadi salah seorang dari sedikit ulama perempuan di Indonesia.

Dilahirkan pada 30 Desember 1946 di Donggala, Sulawesi Tengah, Ketua MUI Pusat Bidang Pengkajian dan Pengembangan ini menjadi salah seorang penerima Satyalencana Wira Karya dari Presiden SBY tahun 2008 lalu. Selain sebagai Guru Besar di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, juga mengajar di berbagai Perguruan Tinggi seperti Pascasarjana UI, Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ) serta Institut Ilmu Al Qur’an (IIQ) Jakarta. Selain itu juga sebagai Anggota Dewan Pengawas Syariah  Bank Niaga Syariah dan Ketua Dewan Pengawas Syariah Asuransi Syariah Jasaraharja Putra. (*)


http://www.suara-islam.com/index.php?option=com_content&view=article&id=479:rsmi-berbohong&catid=60:wawancara&Itemid=66