Advertisement

Responsive Advertisement

Trafficking dan Ancamannya : Ditipu dan Dijadikan PSK

Trafficking dan Ancamannya : Ditipu dan Dijadikan PSK PDF Print E-mail
Written by Administrator   
Wednesday, 01 July 2009 12:30

Pada awalnya, korban trafficking di Papua ini dijanjikan untuk bekerja di beberapa restoran di Papua. Namun ternyata, mereka dipekerjakan di bar. (Foto : IST)
 
JUBI — Selain ancaman badai pornografi, tindak kekerasan, gizi buruk, dan HIV/AIDS, Merauke kini memperoleh ancaman bahaya trafficking atau perdagangan orang.

Saat itu dirinya baru 17 tahun. “Saya diajak ke Merauke, awalnya dijanjikan kerja di restoran, tapi malah kerja jadi pelayan bar”. Wanita asal Pasuruan, Jawa Timur itu baru sebulan kerja setelah kemudian oleh pemerintah daerah Merauke ditetapkan sebagai korban trafiking. Vita, perangainya lucu, imut dan lugas seperti anak kebanyakan. Dia dipulangkan ke Pasuruan setelah melewati sidang yang sangat melelahkan. Kasus trafficking (perdagangan orang) di Merauke yang terjadi pada Februari 2008 ini menjadi salah satu dari banyak kasus lain yang belum terungkap.
Vita menjalani sidang tanpa beban. Dia hanya ingin secepatnya selesai dan bisa pulang ke rumah. Sidang pertama Vita, 23 Juli 2008 dipimpin hakim ketua Wempy. W. J. Duka, SH. Sidang yang berlangsung sekitar pukul 11.00 WIT itu dihadiri organisasi peduli perempuan dan anak, sejumlah LSM, Dinas Sosial dan Bagian Pemberdayaan Perempuan Merauke. Sidang berlangsung tertutup. Terdakwanya Marlyn. Marlyn adalah pemilik bar Cahaya Indah di Merauke. Dirinya dijadikan terdakwa setelah melakukan perdagangan anak untuk dijadikan pramuria di Bar miliknya. Modusnya diawali dengan kerjasama Marlyn dengan seorang wanita di Pasuruan. Wanita tersebut adalah keluarga Vita. Vita ditipu dengan iming-iming gaji yang tinggi bila bekerja di Merauke. Awalnya dia diajak untuk kerja di sebuah restoran ternama. Tapi belakangan, setelah tiba, dirinya langsung dibawa ke Bar Cahaya Indah yang terletak di bilangan Muli Merauke. Vita bersekolah di sebuah Madrasah di Pasuruan. Baru menginjak kelas 2.
Dalam sidang tersebut, hadir saksi korban, Mila, Winda, Nia, Dian dan Metalmeti dari Dinas Sosial Kabupaten Merauke. Mila dan Winda adalah pramuria pada bar Senandung rindu. Keduanya juga mengalami penipuan sama seperti Vita yang dilakukan oleh terdakwa Marlyn. Belakangan keduanya pulang ke Jawa.
Di Merauke, trafficking telah menjadi momok bagi perempuan. Trafiking sendiri menurut UU Nomor 23 tahun 2004 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang,  adalah tindakan perekrutan,  pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut.
Konvensi ILO No 182 Mengenai Pelarangan dan Tindakan Segera Penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan Anak Terburuk menyebutkan, trafiking sebagai bentuk pekerjaan anak mutlak harus dilarang. Trafficking terjadi karena beberapa sebab. Pertama, karena motif adopsi. Hal ini terjadi misalnya di negara-negara Skandinavia. Disana kaum wanita memilih tidak kawin, atau kalaupun kawin tidak ingin memiliki anak. Pemerintah bahkan sampai harus mengiming-iming hadiah besar bagi wanita yang mau melahirkan anak. Tetapi mereka adalah warga yang telah sukses dalam membangun ekonomi. Mereka mengabaikan segala iming-iming tersebut, bahkan rela mengeluarkan dana besar untuk mengadopsi anak. Kebutuhan adopsi massal itulah yang menyebabkan lahirnya para penjual bayi, calo-calo anak dan segenap jaringannya. Pada sisi lain, negara-negara berkembang masih dipenuhi warga miskin dengan segala persoalannya, yang kemudian menjadi sasaran pencarian anak-anak yang akan diadopsi melalui proses perdagangan. Berita hilangnya 300 anak pasca bencana Tsunami Aceh yang dilarikan oleh WorldHelp, sampai hari ini tidak jelas penyelesaiannya. Banyak pihak menduga anak-anak ini dilarikan ke Amerika. Selama tahun 2007 misalnya, Gugus Tugas Anti Trafficking Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan (GTA MNPP) menemukan ada 500 anak Indonesia yang diperdagangkan ke Swedia.
Untuk motif ini, pedagang tidak hanya mengambil anak-anak yang sudah beranjak Balita, anak usia sekolah atau remaja saja, bahkan masih orok dan janin pun bisa diterima. Di perbatasan Indonesia-Malaysia misalnya, pada tahun 2003 harga orok bermata sipit dan berkulit putih dihargai RM 18.000-25.000. sedangkan untuk orok bermata bundar dan kulit gelap dihargai RM 10.000-15.000.
Untuk yang masih dalam kandungan para calo-calo bandit akan mencari mangsa kaum perempuan yang hamil tanpa nikah atau korban perkosaan. Mereka dirayu dengan iming-iming akan diberi pekerjaan atau dikawini asal bersedia pergi ke luar negeri. Di luar negeri mereka ternyata dimasukkan dalam kamp penampungan khusus wanita hamil, setelah lahir sang ibu akan diusir dan bayi harus ditinggal.
Kedua, motif  pemekerjaan. Dengan mempekerjakan anak-anak tidak perlu membayar tinggi, bahkan tidak dibayar sama sekali kecuali tempat tidur dan makanan yang tidak layak. Dengan mempekerjakan anak, keuntungan bisa diperoleh berlipat-lipat. Inilah yang disebut perbudakan. Motif pemerkerjaan juga terjadi pada dunia hiburan, dengan mempekerjakan anak perempuan bisa mendatangkan keuntungan yang sangat besar.
Ketiga, motif eksploitasi seksual. Motif ini paling banyak menimbulkan korban yakni dengan menjadikan anak-anak sebagai pelacur maupun bentuk eksploitasi lainnya. Organisasi Buruh Internasional (ILO) memperkirakan 30 persen dari 240 ribu pekerja seks komersial di Indonesia tahun 2004 adalah anak di bawah 18 tahun. Ini belum termasuk angka perempuan muda Indonesia yang menjadi pelacur di luar negeri. Mereka lebih susah dihitung karena umurnya selalu dipalsukan. Tetapi Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan memperkirakan tidak kurang dari 30.000 perempuan muda Indonesia menjalani seks komersial di luar negeri. Data yang sesungguhnya di lapangan boleh jadi lebih dari itu. Sebutan bagi mereka bermacam-macam seperti ayam kampung (Pontianak), barang (Medan dan Batam), ciblek (Semarang), telembuk (Indramayu), dan sebagainya. 
Di Malaysia saja, jumlah pekerja seks komersial cilik yang berasal dari Indonesia, yang berhasil dicatat Kepolisian Diraja Malaysia tahun 2001 berjumlah 2.451 orang, tahun 2002 sebanyak 2.151 orang, tahun 2003 sebanyak 2.112 orang, dan tahun 2004 sebanyak 2.158 orang. Data di KPAI menunjukkan saat ini ada 3 juta TKW di luar negeri, 10 % di antaranya bermasalah seperti soal pembayaran gaji yang tidak beres, menjadi korban kekerasan, paspor hilang, dan sebagainya. Dari jumlah yang bermasalah, antara 1 sampai 2 %  atau antara 30.000 hingga 60.000 merupakan TKW korban trafficking yang mayoritas masih masuk kategori anak-anak.
Akar masalah trafficking menurut kajian KPAI (Komisi Perlindungan Anak Indonesia) antara lain disebabkan oleh kemiskinan. Hal ini merupakan salah satu alasan orang tua yang memaksa anak untuk bekerja. Kondisi ini dimanfaatkan oleh para agen dan calo untuk merekrut anak-anak dari keluarga miskin. Keberadaan agen tumbuh subur di desa-desa miskin untuk mempengaruhi orang tua agar mengijinkan anaknya untuk bekerja di kota sebagai pekerja rumah tangga, pelayan restoran, buruh pabrik, atau menikahkan anaknya dengan orang asing dengan sejumlah iming-iming yang menggiurkan. Menurut hasil pemantauan KPAI hampir sebagian besar daerah di Indonesia terindikasi sebagai daerah tujuan—transit—penerima trafficking orang. Termasuk Biak, Timika, Sorong, Mappi, Jayapura, dan Merauke.
Pemagaran trafficking memang telah dilakukan. Puncaknya, ketika pertengahan tahun 2007, pemerintah mengintrodusir UU No.21 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang. Artinya, dari aspek penyediaan UU, upaya penghapusan trafiking telah dilakukan secara berlapis-lapis, termasuk ketentuan dalam KUHP. Lebih dari itu,  peran masyarakat juga sangat dibutuhkan, baik secara kelembagaan maupun perseorangan. Orang tua, guru, tokoh agama, tokoh masyarakat, pejabat pemerintah, harus bahu membahu menyadarkan para pihak yang berpotensi terjadinya tindak pidana trafficking. (Jerry Omona)
 
http://tabloidjubi.com/index.php?option=com_content&view=article&id=2100:trafficking-dan-ancamannya--ditipu-dan-dijadikan-psk&catid=83:lembar-olah-raga&Itemid=95