Advertisement

Responsive Advertisement

Menyebut Hukum Potong Tangan Sebagai Tindak Pelanggaran HAM

Menyebut Hukum Potong Tangan Sebagai Tindak Pelanggaran HAM

Sabtu, 19 Nopember 2005 22:04:22 WIB

MENYEBUT HUKUM POTONG TANGAN SEBAGAI TINDAK PELANGGARAN HAM


Oleh
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin



Pertanyaan:
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Apa pendapat anda terhadap orang yang mengatakan, "Sesungguhnya memotong tangan si pencuri dan menjadikan nilai persaksian kaum wanita separuh dari persaksian kaum lelaki adalah sesuatu yang keras (tidak berprikemanusiaan, -pent.), dan melanggar hak asasi kaum perempuan?" Semoga Allah membalas dengan kebaikan bagi anda.

Jawaban.
Saya tegaskan terhadap orang yang mengatakan memotong tangan pencuri dan menjadikan nilai persaksian kaum wanita separuh dari persaksian kaum lelaki sebagai sesuatu yang keras dan melanggar hak asasi kaum wanita, bahwa dengan perkataan ini dia telah keluar (murtad) dari Islam dan kafir terhadap Allah Subhanahu wa Ta'ala. Maka, wajib baginya untuk bertaubat kepada Allah dari hal itu. Bila dia tidak mau, maka dia mati dalam kondisi kafir, sebab hal inilah hukum Allah. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.

"Artinya : Dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?" [Al-Ma'idah : 50]

Allah juga telah menjelaskan hikmah di balik adanya hukum potong tangan terhadap pencuri, sebagaimana firmanNya.

"Artinya : (Sebagai) pembalasan dari apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Mahaperkasa lagi Mahabijaksana. " [Al-Ma'idah :38]

Dia juga menerangkan hikmah di balik persaksian kaum wanita, yakni dua orang wanita dan seorang laki-laki (bila tidak ada dua orang saksi laki-laki, -pent), yaitu sebagaimana firmanNya.

"Artinya : Supaya jika seorang lupa maka seorang lagi mengingatkannya. "[Al-Baqarah : 282]

Berdasarkan hal ini, maka orang yang mengatakan seperti itu harus bertaubat kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, sebab jika tidak, maka dia akan mati dalam kondisi kafir.

PENGUASA MUSLIM MENANGGUHKAN SEBAGIAN HUKUM HUDUD

Pertanyaan.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Apakah seorang penguasa muslim boleh menangguhkan sebagian hukum hudud pada waktu-waktu darurat sebagaimana yang pernah diperbuat Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu 'ahu, ketika menggugurkan hukum had mengenai pencurian pada waktu musim paceklik?

Jawaban:
Kaum Muslimin wajib menegakkan kewajiban yang telah Allah syari'atkan pada hukum-hukum hudud sebagaimana Umar bin al-Khaththab, sendiri pernah berkata ketika sedang di atas mimbar Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tatkala menyinggung tentang hukum rajam bagi pezina yang sudah beristeri (muhshan), "Dan aku khawatir jika lama-lama orang-orang akan mengatakan, 'kami tidak mendapatkan hukum rajam di dalam Kitabullah.' Sehingga dengan begitu, mereka menjadi sesat karena meninggalkan satu kewajiban yang telah diturunkan Allah Subhanahu wa Ta'ala"

Di sini, dia menjelaskan bahwa hal ini adalah merupakan suatu kewajiban dan tidak dapat disangkal lagi bahwa ia adalah kewajiban, karena Allah telah memerintahkannya.

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman di dalam firman-firmanNya,

"Artinya : Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri potonglah tangan keduanya. " [Al-Ma'idah :38]

"Artinya : Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah" [An-Nur : 2]

"Artinya : Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan RasulNya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya). Yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka didunia." [Al-Ma'idah :33].

Dan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

"Artinya : Sesungguhnya orang-orang sebelum kamu binasa karena bila ada orang terpandang diantara mereka yang mencuri, mereka membiarkannya; dan bila orang lemah yang mencuri, maka mereka tegakkan hukum atasnya. Demi Allah, andaikata Fathimah binti Muhammad mencuri, niscaya aku potong tangannya." [Hadits Riwayat Al-Bukahri, Ahdits Al-Anbiya 3475. Muslim, Al-Hudud 1688]

Jadi, tidak seharusnya hukum-hukum hudud ini tidak difungsikan, apapun situasi dan kondisinya. Riwayat mengenai Umar yang menggugurkan hukum ketika terjadi kelaparan, perlu diberi catatan dengan dua hal penting.

Pertama : Keshahihan riwayatnya. Jadi, kita menuntut kepada setiap siapa saja yang mengklaim hal ini agar membuktikan keshahihan riwayatnya, bahwa ia berasal dari Umar.

Kedua : Bahwa Umar tidak member-lakukan hukum had tersebut karena mencuatnya syubhat, sebab orang-orang dalam kondisi kelaparan. Jadi, terkadang seseorang mengambil sesutu karena tuntutan kondisi, bukan sengaja untuk mengenyangkan perutnya dengan itu.

Seperti telah diketahui bersama, bahwa wajib bagi kaum muslimin memberi makan kepada saudaranya yang membutuhkan. Dari sini, Umar Radhiyallahu 'anhu khawatir bila pencuri itu nantinya butuh kepada makanan, namun dia tidak mendapatkannya (karena terhalang), maka dia mencari-cari kesempatan untuk mencuri. Tindakan seperti inilah yang pantas dilakukan Umar, jika atsar yang dinisbahkan kepadanya memang shahih bahwa dia telah menggugurkan atau menghapus hukum had, yaitu had terhadap pencuri pada tahun paceklik.

Sedangkan terhadap para penguasa kita, yakni kebanyakan mereka tidaklah dapat dipercaya komitmen keagamaan mereka, demikian juga kewajiban mereka di dalam memberikan nasehat kepada umat. Andaikata dibukakan pintu ke arah itu, niscaya sebagian mereka akan mengatakan, "Menegakkan hukum had dizaman ini sudah tidak relevan lagi karena orang-orang kafir, musuh kita akan menuduh kita sebagai orang-orang bengis dan manusia liar dan kita menentang apa yang wajib diperhatikan dari sisi hak-hak asasi manusia." Kemudian hukum hudud dihapus secara keseluruhan sebagaimana -sangat disayangkan sekali- realitas saat ini di kebanyakan negeri muslimin di mana hukurn-hukum hudud tidak difungsikan demi menjaga perasaan musuh-musuh Allah.

Oleh karena itu, manakala hukum-hukum hudud tersebut tidak difungsikan lagi, terjadilah banyak sekali tindak kriminal dan orang-orang -bahkan hingga kepada para penguasa yang selalu mengekor dalam hal ini- menjadi linglung, apa tindakan yang harus dilakukan terhadap tindakan kriminal tersebut.

[Disalin dari buku Al-Fatawa Asy-Syar'iyyah Fi Al-Masa'il Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram, Penyusun Khalid Al-Juraisy, Edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini, Penerjemah Musthofa Aini dkk, Penerbit Darul Haq]