Advertisement

Responsive Advertisement

A. Hasan Ulama, Penulis, dan Ahli Berdebat

Ulama, Penulis, dan Ahli Berdebat

22-05-2004 / 08:09:00 



Seorang A.Hasan telah menulis puluhan buku mengenai masalah keagamaan, terutama fikih (usul fikih), tafsir, hadis, dan ilmu kalam.


Beliau adalah ulama yang dikenal sangat berpendirian teguh dan ahli dalam berbagai ilmu keagamaan. Pembaru terkemuka dari kalangan Persatuan Islam (Persis) ini, juga terkenal sebagai politikus ulung.

Mengutip buku Ensiklopedi Islam, dikatakan bahwa tokoh ini lahir tahun 1883. Nama asli beliau adalah Hassan bin Ahmad dan kemudian lebih dikenal dengan sebutan Hassan Bandung ketika sudah tinggal di kota Bandung. Saat masih menetap di Bangil, biasa dipanggil dengan Ahmad Hassan Bangil.

Ayahnya bernama Ahmad, merupakan seorang penulis dan wartawan yang memimpin majalah bulanan Nurul Islam yang terbit di Singapura. Sedangkan ibundanya, Maznah, adalah wanita asal Madras, India, dan juga memiliki asal-usul dari Mesir. Keduanya menikah di Surabaya dan lantas pindah ke Singapura. Di negara pulau kecil inilah, Ahmad Hassan lahir dan dibesarkan.

Pada mulanya, sebagai anak laki-laki, oleh ayahnya Ahmad Hassan diinginkan meneruskan jejaknya menjadi penulis. Seiring dengan itu, semenjak kecil, ia sudah mendapatkan pendidikan agama dari orang tuanya. Di usia 7 tahun, Hassan muda mulai mempelajari kitab suci Alquran serta pengetahuan dasar keagamaan. Hanya dalam tempo dua tahun, kedua pelajaran ini dapat dikuasainya karena ditunjang ketekunan dan kecerdasan.

Setelah itu dia masuk sekolah Melayu selama 4 tahun untuk belajar bahasa Arab, Melayu, Tamil dan Inggris. Pendidikan ini selesai 4 tahun. Kemudian, kegiatan menimba ilmunya banyak dilakukan dengan berguru pada sejumlah ulama. Di antaranya adalah Haji Ahmad Kampung Tiung, Haji Muhammad Taib Kampung Rokoh, Said Abdullah al-Munawi al-Mausili, Abdul Latif, Haji Hasan, dan Syekh Ibrahim India.

Tak hanya ilmu pelajaran saja yang ditekuni, Ahmad Hassan juga terbiasa mengisi waktu luangnya dengan mengasah ketrampilan, seperti menenun dan bertukang kayu. Selain itu, di waktu tertentu dia membantu ayahnya di percetakan. Di usia remaja, Ahmad Hassan juga aktif menulis dan hal ini tentu sangat menyenangkan bagi sang ayah. Tahun 1909, karya tulisannya untuk pertama kali dipublikasikan dan dia pun diangkat menjadi pembantu surat kabar Utusan Melayu, terbitan Singapura. Tulisan-tulisannya banyak mengandung kritik konstruktif khususnya bagi kemajuan dan perkembangan umat Islam.

Masih banyak kegiatan yang dia lakukan. Seperti misalnya, saat bekerja menjadi guru di madrasah untuk orang-orang India di beberapa tempat di Singapura. Di samping itu, di luar jam mengajar ia masih pula mencari nafkah dari sumber-sumber yang halal. Tercatat, ia pernah menjadi pedagang batu permata, agen es, pedagang pakaian, penambal ban mobil dan selama setahun menjadi kerani kepaka di Pilgrim Office yang mengurusi perjalanan haji ke Tanah Suci.

Ahmad Hassan baru kembali ke Indonesia, tepatnya ke Surabaya, pada tahun 1921 saat mengurus toko kain milik guru sekaligus pamannya, Haji Abdul Latif. Kebetulan berada di kota itu, dia menyaksikan pergolakan pemikiran keagamaan yang sedang hangat antara kaum muda dan tua. Kaum tua mempertahankan tradisi keagamaan yang telah mapan dan berkembang di masyarakat. Sementara itu, para pemuda ingin menghapuskan segala sesuatu yang tidak punya landasan Alquran dan Hadis Nabi.

Awalnya, Ahmad Hassan cenderung sepakat dengan pendapat kaum tua. Pada waktu itu, dia bertemu dengan KH Abdul Wahab Hasbullah, seorang tokoh NU. Tak lama, keduanya lantas bersahabat dengan wakil kaum tua ini. Namun lama kelamaan, saat harus menghadapi persoalan yang muncul, dia menjadi kurang puas dengan jawaban-jawaban yang diberikan oleh kaum tua.

Beberapa saat kemudian, ia bertemu dengan seorang pedagang dan ulama asal Sumatra Barat bernama Pakih Hasyim. Ulama ini telah banyak mendalami pemikiran pembaruan kaum muda di tempat asalnya. Dengan segera saja, keduanya menjalin pertemanan yang akrab. Kendati demikian, usaha dagang yang dijalaninya tidak berhasil baik. Toko yang ia kelola mengalami kemunduran hingga terpaksa dikembalikan kepada Haji Abdul Latif.

Selanjutnya, dia menggeluti usaha tambal ban serta mempelajari cara bertenun di Kediri. Tahun 1942, Ahmad Hassan meneruskan sekolah tenunnya di Bandung dan tinggal di kediaman keluarga KH M Yunus, yang dikenal sebagai pendiri Persatuan Islam (Persis). Sejak itulah ia kembali terlibat urusan keagamaan.

Waktu berlalu dan ketika usahanya tidak lagi punya prospek cerah, Ahmad Hassan mencurahkan daya pikirannya untuk memajukan Persis. Oleh sahabat-sahabatnya, dia diminta untuk menjadi guru agama dan menetap di Bandung. Akan tetapi, pada saat luang, dia pun meneruskan bakatnya yang lama yakni menulis.

Buah karya pertamanya yang mendapat sambutan luas masyarakat, yakni yang berjudul Tafsir al-Furqan. Tulisan tersebut dicetaknya sendiri. Pada masa itu, dia berkenalan dengan Soekarno. Perkenalan ini bermanfaat besar dalam mengenal agama Islam secara lebih mendalam, meski di sana sini timbul benturan pemikiran di antara mereka. Selain itu dia pun berkenalan dengan M Natsir. Bersama Natsir, keduanya kemudian menerbitkan majalah Pembela Islam dan majalah Al-Lisan. Di kedua majalah itu, Ahmad Hassan memperlihatkan sosok dan kapasitas pribadinya sebagai pembela, pemurni, dan pembaru Islam. Namanya pun menjadi terkenal di pelosok Nusantara, Malaysia bahkan Singapura.

Ketika membela panji-panji ajaran Islam, Ahmad Hassan tak hanya melakukannya lewat karya tulisan, tetapi juga melalui perdebatan lisan. Kepiawaiannya dalam berdebat itu menyebabkan banyak lawan debatnya kalah dan kembali ke jalan yang benar. Satu hal penting, dia tidak pernah memilih-milih lawan berdebat. Siapa saja, kapan saja, dan dimana saja debat akan dilakoninya asal demi upaya menegakkaan ajaran Islam.

Persis kian dikenal masyarakat luas seiring kiprah keagamaan dari Ahmad Hasaan. Setelah itu, pada tahun 1941, dia hijrah ke Bangil. Di tempat baru tersebut, dia masih tetap bersemangat mengembangkan Persis, menulis, bertablig, dan berdebat.

Berdasarkan catatan, Ahmad Hassan telah menulis puluhan buku mengenai masalah keagamaan, terutama fikih (usul fikih), tafsir, hadis, dan ilmu kalam. Beberapa karyanya yang cukup populer adalah Soal-Jawab, Tafsir al-Furqan, Pengajaran Shalat dan at-Tauhid.

Dia menunaikan ibadah haji di tahun 1956. Pada saat berada di Tanah Suci, Ahmad Hassan jatuh sakit hingga terpaksa dibawa pulang kembali. Kemudian tertimpa lagi penyakit baru, yakni infeksi yang menyebabkan kakinya harus dipotong. Tokoh kharismatik ini meninggal dunia pada usia 71 tahun.