Advertisement

Responsive Advertisement

EDAN !!! Selangkah Lagi, Perancis Larang Total Penggunaan Cadar

Selangkah Lagi, Perancis Larang Total Penggunaan Cadar

thewashingtonnote.com
Parlemen Perancis ajukan undang-undang pelarangan total penggunaan cadar di seluruh ruang terbuka publik dan jalan-jalan umum di Perancis.
printSend to friendLA VERRIERE--Lelaki yang dinikahi wanita ini, berdarah Perancis. Ia memiliki empat anak lahir di Perancis dan ia pun berbicara dalam Perancis dengan sediki jejak lidah Arab di lidahnya.
Kini, Faiza Silmi, wanita tersebut meski berjuang untuk penggunaan pakaian menutup tubuh dari kepala hingga kaki, penutup wajah dan kain jaring penutup mata, yang membuat Perancis menolak pengajuan kewarganegaraannya di tanah yang baru.
Wanita Maroko berusia 32 tahun itu bisa jadi segera menghadapi kebijakan lebih keras. Perumus undang-undang tertinggi Perancis baru saja mengajukan draf undang-undang pekan ini yang berisi pelarangan penggunaan pakaian Islami di area publik manapun. Sebuah kebijakan yang akan menjadi preseden di Eropa sekaligus penjara bagi seluruh wanita yang kukuh menggunakan jilbab dan cadar di daratan Perancis.
"Mereka mengatakan saya terlalu berlebihan dengan agama saya," ujar Faiza kepada AP di sebuah restoran sepi pengunjung dekat rumahnya, di barat daya Paris. "Banyak orang Kristen tinggal di Maroko dan kami tidak memaksa mereka menggunakan jilbab," imbuhnya.
Tidak seperti jilbab, pakaian menutup seluruh tubuh dengan cadar sangat jarang dilihat di  jalanan Perancis, negara yang menjadi tempat tinggal sekitar 5 juta Muslim, populasi Muslim terbesar di Eropa Barat. Pemimpin utama Muslim di Perancis juga menyatakan Islam tidak menuntut wanita untuk menutup diri mereka dengan burqa dan cadar.
Di dalam negara yang memiliki emblem nasional Marianne--seorang wanita bertelanjang dada--ada masalah mendalam terhadap semua pakaian tersebut, yang kerap berwarna gelap seperti hitam atau coklat ditambahi sarung tangan. Pakaian tersebut sangat tipikal di Arab Saudi atau pun negara-negara Arab.
Namun, di Perancis, secara luas pakaian tersebut dipandang sebagai pintu gerbang radikal Islam, serangan persamaan gender dan nilai-nilai Perancis lain serta tidak sejalan dengan landasan sekuler Perancis.
Presiden Nicolas Sarkozy membuka pintu terhadap kemungkinan pelarangan tersebut pada Juni lalu. Ia berkata di hadapan parlemen di Versailles, bahwa pakaian semacam itu 'tidak diterima' di Perancis. Sebuah panel khusus parlemen dibentuk pada Juli lalu untuk pengumpulan informasi selama enam bulan terhadap pakaian tersebut.
Pada Selasa, kepala partai konservatif, UMP (partai yang mengusung Sarkozy), Jean-Francois Cope, melompat langsung pada kesimpulan sebelum laporan panel rampung dan mengisi draf undang-undang pelarangan. "Tidak seorang pun boleh, dalam ruang terbuka di tempat umum dan jalan-jalan umum, mengenakan pakaian atau aksesoris yang memiliki efek menutup wajah," demikian bunyi teks draft tersebut seperti yang dilansir Guardian.
Usulan tersebut, menjadi yang kedua kali bagi Perancis menyasar tata cara berpakaian Muslim. Pada 2004, sebuah pelarangan terhadap penggunaan jilbab dan simbol keagamaan lain dilarang di sekolah umum Perancis.
Isu populasi Muslim yang kian bertumbuh di Eropa dan pergesekan antara agama di benua itu memang bukan hanya terjadi di Perancis. Namun, kemungkinan hanya Perancis lah, satu-satunya negara di Eropa yang menyasar bentuk pakaian burka dan cadar secara spesifik.
"Kita akan menjadi stok tertawaan dalam hal demokrasi, haruskan Perancis melarang pakaian," ujar seorang guru besar sosiologi, Rafael Liogier, yang memimpin Observatori Keagamaan di Propinsi Aix-en
Ia termasuk di antara pengkritik yang mengatakan pelarangan akan melanggar hak dasar dan melewati batas prinsip fundamental republik Perancis.
Pemimpin Muslim seluruh aliran juga mengingatkan bahwa pelarangan berisiko memberi stigma  ke seluruh Muslim. Kemudian seorang hakim anti-teroris, Marc Trevidic, seperti yang dilansir Journal du Dimanche, menyatakan pelarangan justru mendorong orang-orang impulsif untuk semakin berkomitmen melakukan serangan.
Namun, pemimpin panel khusus parlemen yang merancang undang-undang pelarangan, Andre Gerin, menyatakan jubah menutup seluruh tubuh dan cadar adalah 'upaya untuk memanfaatkan Islam dengan tujuan akhir politik' lewat 'ideologi fundamentalis dan bersifat barbar' yang menindas wanita.
Andre, seorang berideologi komunis yang bertahun-tahun menjadi walikota Venissieux, sebuah kawasan suburb di Lyon yang dikenal sebagai hantu pemburu Muslim fundamentalis, bersikeras fenomena tersebut kian bertumbuh.
Dalam acara Salat Jumat di sebuah masjid barat laut Paris, di Argentueil, yang dianggap konsentrasi kaum Salafi, hanya sedikit yang terlihat mengenakan jubah plus cadar. Namun, mereka tetap terlihat khawatir dengan pelarangan tersebut.
"Kami tidak akan mampu meninggalkan rumah," ujar Oumeima Naceri, 19 tahun, asli orang Perancis yang berubah agama dibungkus pakaian hitam, termasuk kasa penutup wajah dan matanya. "Itu sungguh menakutkan kami...Seperti meminta kami untuk telanjang," imbuhnya.
Sejauh ini angka statistik pengguna burqa dan cadar mustahil untuk diketahui. Sebuah Laporan tahun 2004, yang disusun layanan intelijen Perancis, menyebutkan jumlah wanita dalam jubah tertutup sepenuhnya dengan cadar sebanyak 4.000 orang. Sejumlah pakar memprediksi lebih dari seperempatnya adalah mereka yang beralih ke Islam.
Faiza Silmi, warga Maroko yang mengajukan permohonan kewarganegaraan di Perancis, mulai menutup tubuh sepenuhnya justru setelah datang di Perancis pada 2000. Ia menuturkan, menemukan pendalaman keyakinan lewat buku dan kaset-kaset rekaman yang tak ada di Maroko.
Ia berkeras, sang suami tak memaksanya mengenakan pakaian tersebut. Faiza menambahkan ia bahkan tengah dalam proses bercerai dengan suami yang ia nikahi 10 tahun.
Permohonan Faiza ditolak oleh pemerintah karena dianggap gagal berasimilasi dengan budaya Perancis. Asimilasi sering kali didefinisikan oleh kemampuan berbahasa Perancis oleh si pemohon. Tentu itu tak berlaku dalam kasus Faiza.
Dalam tiga kali laporan wawancara antara Faiza dengan pemerintah, petugas mengacu pada cara berpakaian. Kuasa hukum Faiza, Ronald Sokol, warga Amerika yang tinggal di Perancis, mengatakan alasan itulah yang membuat ia tertolak menjadi warga negara Perancis.
Faiza kalah pula dalam upaya hukum di Pengadilan Negara, pada Juni 2008. Pengadilan mengatakan ia mengadopsi praktik keagamaan radikal yang tidak sejalan dengan nilai mendasar komunitas Perancis. Ia kini maju ke Pengadilan Hak Asasi Eropa.
"Seorang wanita harus menutupi tubuhnya. Itu tertulis dalam Al Qur'an." ujar Faiza kepada AP.
Salah satu anggota parlemen, Daniele Hoffman-Rispal, sekaligus anggota panel khusus, mengatakan ia kerap melihat wanita dengan burqa dan cadar berjalan-jalan di distriknya, Paris timur dan merasa terganggu. "Mereka memiliki hak untuk melihat saya, mata saya, senyum saya," namun ia tak bisa melihat mereka.
Namun jika pelarangan diterapkan, ia pun bertanya," Akankah kita menempatkan polisi di sudut-sudut jalan?". Ia pun mencemaskan keberadaan wanita-wanita yang akan terkungkung di dalam demi menghindari penangkapan.
Sedangkan Faiza, ia mengaku akan berkonsultasi dengan seorang ulama Muslim di intenet bila pelarangan menjadi hukum legal. "Jika ia menyarankan saya tidak untuk membuka cadar, saya lebih suka kembali ke Maroko, ketimbang melanggar hukum Perancis," ungkapnya

http://www.republika.co.id/berita/101295/selangkah_lagi_perancis_larang_total_penggunaan_cadar

===========================================================================

Embassy of Perancis
Jl. M.H. Thamrin 20, Jakarta Pusat
Telepon : (021) 314-2807
Fax : (021) 314-3338