Advertisement

Responsive Advertisement

MUI: Puluhan Tahun Dialog Ahmadiyah Tetap Sesat

JAKARTA (Berita SuaraMedia) - Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Boediono secara mendadak memanggil sejumlah menteri, Kapolri, Panglima TNI dan Jaksa Agung. Rapat terbatas yang digelar di Istana Merdeka itu membahas perkembangan terkini tentang aksi kekerasan di Pandeglang, Banten, dan Temanggung, Jawa Tengah.

Menurut Menteri Hukum dan HAM Patrialis Akbar usai rapat terbatas, Presiden menginstruksikan para menteri terkait segera melakukan langkah-langkah dialog dan mencari solusi untuk penyelesaian persoalan ajaran Ahmadiyah. Meski pemerintah telah mengeluarkan SKB tiga menteri terkait Ahmadiyah, kenyataannya kasus-kasus kekerasan terus terjadi di masyarakat.

Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) berpendapat, solusi dalam meluruskan pengikut Jamaah Ahmadiyah Indonesia (JAI) adalah dengan membangun komunikasi yang damai, bukan dengan memaksakan keyakinan Islam mainstream kepada pengikut JAI.

"Meluruskan dengan kelembutan. Dalam Al Quran disebutkan, undanglah mereka yang berbeda paham dengan kita, dengan dakwah, dengan nasehat yang baik. Jika belum juga efektif, adu argumen dengan cara yang santun. Jika cara itu sudah mentok, ya sudah serahkan kepada Allah," tutur Masdar Farid Mas'udi dari PBNU, dalam rapat dengar pendapat Komisi VIII DPR, di Jakarta.

Setiap umat beragama, kata Masdar, seharusnya mengeskpresikan agamanya dengan kelembutan. Begitupun dengan penganut Islam mainstream dan pengikut JAI. "Mengapa keberagaman harus diekspresikan dengan kebengisan dan kekerasan?" ujarnya.

Masing-masing umat beragama memiliki tanggung jawab untuk mengulurkan tangan kepada sesama. Juga menjaga kebhinekaan atau keberagaman Indonesia. "Tentunya dengan keluhuran budi dan kelembutan hati," kata Masdar.

Kendati demikian, menurut Madar, pemimpin agama adalah yang paling bertanggung jawab dalam menjaga keberagaman agama di Indonesia. "Umat itu kesekian (dalam tanggung jawab)," ucapnya.

Terkait perbedaan teologi antara JAI dengan Islam mainstream, PBNU enggan mengatakan bahwa JAI adalah aliran yang sesat. "Manusia tidak berhak menentukan suatu keyakinan seseorang sesat atau tidak. Sesat memang bisa terjadi pada konsep agama. Tapi kalau ini dimainkan sebagai norma pergaulan, akan rusak kehidupan," papar Masdar.

Sementara itu, mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla berpendapat, Jemaah Ahmadiyah Indonesia atau JAI tidak harus diusir atau diasingkan demi menghindari bentrokan antarwarga meskipun dinyatakan sebagai paham sesat.

"Saya setuju Ahmadiyah sesat, tetapi tidak berarti harus diusir. Sesat, oke, saya terima. Tapi saya tidak bisa suruh polisi usir," kata Kalla dalam rapat dengar pendapat Komisi VIII DPR, Senayan, Jakarta.

Solusi untuk persoalan JAI yang pahamnya berbeda dengan Islam arus utama tersebut, kata Kalla, adalah dengan menghormati satu sama lain sesuai dengan amanat undang-undang. "Karena hukum agama masing-masing berbeda, kita ikuti hukum negara saja. Ketegasan mengamankan negeri ini," katanya.

Hukum tiap-tiap agama, seperti halnya fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) untuk pengikutnya, menurut Kalla, tidak dapat dijadikan hukum positif. Hal itu termasuk fatwa MUI yang menyatakan bahwa Ahmadiyah sesat. "Hukum Islam pun tidak bisa jadi hukum positif. Katakan alkohol haram, tetapi tidak bisa dibuang begitu saja karena kita negara Pancasila," paparnya.

Ketua Umum Palang Merah Indonesia Pusat itu juga berpendapat, solusi untuk semua persoalan umat beragama di Indonesia, termasuk soal Ahmadiyah, tidak dapat ditarik satu kesimpulan. Solusi harus dilihat kasus per kasus. "Tidak ada satu solusi, tergantung masalahnya apa. Kaya dokter juga, apa keluhannya. Tidak berarti sakit kepala obatnya sama semua," ujarnya.

Oleh karena itu, harus dilihat dulu apa persoalan sebenarnya dalam setiap konflik berlatar belakang agama. Kalla mencontohkan perbedaan solusi untuk kasus kekerasan di Poso, Ambon, dan di Temanggung, Jawa Tengah. Menurut Kalla, permasalahan dalam konflik di Poso adalah persoalan politik. Warga non-Muslim merasa tidak mendapat keadilan ketika hampir semua pejabat Poso yang dipilih langsung beragama Islam. Padahal komposisi Muslim dan Nasrani di sana hampir seimbang. Adapun sebelum reformasi, kaum Nasrani selalu mendapat jabatan seimbang dalam pemerintahan.

"Zaman Pak Harto, Orde Baru, stabilitas dan harmoni diatur secara baik. Selalu kalau gubernurnya Islam, wakilnya Kristen. Jadi harmonis. Namun begitu reformasi pemilu langsung, karena penduduk lebih banyak Islam, semua gubernur, DPR, Islam," paparnya.

Berbeda dengan konflik di Temanggung yang dipicu ketidakpuasan warga dengan putusan hakim dalam sidang penistaan agama. "Kalau di Temanggung, saya kira masalahnya ada sekelompok orang tidak menerima keputusan hakim. Tidak ada solusi. Ya tergantung masalahnya, baru dicari solusinya," ujar Kalla.

Sedangkan di lain pihak, Majelis Ulama Indonesia (MUI) menolak berdialog dengan jemaat Ahmadiyah soal perbedaan keyakinan. MUI tetap pada pendiriannya bahwa Ahmadiyah menyimpang dari akidah Islam.

"Kita MUI tetap seperti itu, Ahmadiyah kami anggap sesat. Dan sudah tidak perlu berdialog lagi," ujar Ketua MUI, Ma'ruf Amin usai rapat dengar pendapat antara Komisi VIII DPR dengan para pemuka agama di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Jumat (18/2/2011) dini hari.

Menurut Ma'ruf, MUI telah melakukan dialog dengan Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) terkait dengan perbedaan pandangan soal Mirza Ghulam Ahmad yang diyakini sebagai nabi oleh jemaat Ahmadiyah. Namun dialog tersebut selalu buntu, Ahmadiyah tetap pada keyakinannya.

"Sudah berpuluh-puluh tahun dialog. Tapi hasilnya tetap sama saja," terangnya.

Atas perbedaan keyakinan tersebut MUI menyerahkan sepenuhnya kepada pemerintah. MUI sebagai lembaga ulama, tidak berhak membubarkan Ahmadiyah.

"Kita sudah keluarkan Fatwa, soal pembubaran atau solusi itu di tangan pemerintah," imbuhnya. (fn/lp/k2m/dt) www.suaramedia.com

http://www.suaramedia.com/berita-nasional/38792-mui-puluhan-tahun-dialog-ahmadiyah-tetap-sesat.html