Ismail Yusanto: Hukum Sudah Rusak
Korupsi di Indonesia bukannya tambah berkurang dalam era reformasi. Sebaliknya rakyat kian jauh dari rasa keadilan. Hukum bisa dipermainkan oleh mereka yang punya uang. Mengapa ini bisa terjadi? Apakah ini penyakit sistemik atau sekadar masalah orang? Untuk mengupasnya wartawan Media Umat mewawancarai Juru Bicara Hizbut Tahrir Indonesia HM Ismail Yusanto. Berikut petikannya.
Anggodo sangat berperan dalam mengatur hukum di negeri ini seperti terdengar dalam rekaman yang diperdengarkan di siding MK. Analisis Anda?
Rekaman itu menguak bukan saja tentang adanya rekayasa kriminalisasi KPK, khususnya terhadap dua pimpinannya, yakni Bibit Samad Rianto dan Chandra M Hamzah, tapi juga menunjukkan dengan sangat gamblang betapa praktik korupsi sudah demikian merasuk ke relung jantung dan sumsum negeri ini, sekaligus juga menunjukkan betapa korupnya birokrat negeri ini. Sampai-sampai birokrat kepolisian dan kejaksaan yang semestinya menjadi benteng paling kokoh dalam penegakan hukum justru menjadi pihak yang paling telanjang mempermainkan hukum.
Menurut Anda, apakah ini kasusistis ataukah sudah sistemis dalam sistem hukum Indonesia?
Ini bukan kasuistis. Kenyataan tadi mengkonfirmasikan apa yang telah menjadi omongan banyak pihak tentang betapa parahnya korupsi di negeri ini. Ibarat gunung es, rekaman pembicaraan itu menunjukkan bagian kecil dari apa yang terjadi sesungguhnya, yakni adanya mega korupsi yang sangat luar biasa telah terjadi di negeri ini, baik dari segi jumlah uang yang dikorup, kecanggihan praktik sampai jumlah orang dan pihak yang terlibat di dalamnya. Dan lagi, korupsi bukan hanya terjadi di tingkat pusat tapi juga berlangsung di level lebih rendah, baik di tingkat provinsi, kota kabupaten juga di kecamatan bahkan kelurahan.
Maka, korupsi di Indonesia sungguh telah menjadi persoalan yang amat akut. Ibarat penyakit, korupsi telah menyebar luas ke seantero negeri dengan jumlah yang dari tahun ke tahun cenderung semakin meningkat serta modus yang makin beragam. Hasil riset yang dilakukan oleh berbagai lembaga, juga menunjukkan bahwa tingkat korupsi di negeri yang penduduknya mayoritas Muslim ini termasuk yang paling tinggi di dunia. Bahkan koran Singapura, The Strait Time, sekali waktu pernah menjuluki Indonesia sebagai the envelope country, karena segala hal bisa dibeli, entah itu lisensi, tender, wartawan, hakim, jaksa, polisi, petugas pajak atau yang lain. Pendek kata segala urusan semua bisa lancar bila ada “amplop”.
Mengapa begitu mudahnya aparat hukum berada di ketiak para cukong?
Ini tak ubahnya seperti hukum permintaan (demand) dan penawaran (supply) dalam ekonomi. Maksudnya, aparat hukum perlu uang sementara para cukong menawarkan uang. Tentu dengan imbalan sebuah keputusan hukum yang dimaui oleh para cukong itu. Itulah yang selama ini terjadi.
Apa dampak permainan ini bagi keadilan pada khususnya dan rakyat pada umumnya?
Korupsi tentu saja sangat merugikan keuangan negara. Berapa kerugian negara akibat korupsi? Sangat besar. Mantan Ketua Bappenas, Kwik Kian Gie, menyebut lebih dari Rp 300 trilyun dana baik dari penggelapan pajak, kebocoran APBN maupun penggelapan hasil sumberdaya alam, menguap masuk ke kantong para koruptor. Di samping itu, korupsi yang biasanya diiringi dengan kolusi, juga membuat keputusan yang diambil oleh pejabat negara menjadi tidak optimal. Hukum juga semakin sulit berjalan dengan baik. Akibatnya, keadilan semakin sulit didapat. Sementara, korupsi yang melanda lembaga legislatif akan membuat produk hukum yang dihasilkan akan sarat kepentingan pemilik modal. Heboh lahirnya perundang-undangan aneh semacam UU Energi, juga UU SDA, UU Migas, UU Kelistrikan, dan sebagainya dituding banyak pihak sebagai kebijakan yang sangat kolutif karena di belakangnya ada motivasi korupsi.
Bisakah cukong dan makelar kasus seperti ini bisa dihilangkan dalam sistem saat ini?
Saya koq ragu. Mengapa? Karena, selama ada demand pasti ada supply, begitu sebaliknya. Demand bukan hanya dari para aparat penegak hukum, tapi juga dari orang-orang yang berperkara yang ingin dimenangkan urusannya. Maka, selama semua itu masih ada, para cukong dan makelar pasti juga tetap akan terus ada.
Adakah solusi Islam untuk memberantas para cukong dan makelar kasus ini?
Korupsi tidak bisa tidak harus diberantas hingga ke akar-akarnya. Bila tidak, ia akan makin merusak perikehidupan bangsa dan negara baik dari sisi politik, ekonomi, sosial dan akhlaq. Beberapa langkah menurut syariat Islam yang harus ditempuh untuk memberantas korupsi adalah, pertama, Penetapan sistem penggajian yang layak. Aparat pemerintah harus bekerja dengan sebaik-baiknya, karena itu gajinya harus cukup.
Kedua, Larangan menerima suap dan hadiah. Hadiah dan suap yang diberikan seseorang kepada aparat pemerintah pasti mengandung maksud tertentu, karena buat apa memberi sesuatu bila tanpa maksud di belakangnya, yakni bagaimana agar aparat itu bertindak menguntungkan pemberi hadiah. Tentang suap Rasulullah berkata, “Laknat Allah terhadap penyuap dan penerima suap” (HR. Abu Dawud). Tentang hadiah kepada aparat pemerintah, Rasul berkata, “Hadiah yang diberikan kepada para penguasa adalah suht (haram) dan suap yang diterima hakim adalah kufur” (HR. Imam Ahmad).
Ketiga, Perhitungan kekayaan. Cara inilah yang sekarang dikenal dengan istilah pembuktian terbalik yang sebenarnya sangat efektif mencegah aparat berbuat curang. Tapi anehnya cara bagus ini justru ditentang oleh para anggota DPR untuk dimasukkan dalam perundang-undangan.
Keempat, teladan pemimpin. Pemberantasan korupsi hanya akan berhasil bila para pemimpin, terlebih pemimpin tertinggi, dalam sebuah negara bersih dari korupsi. Dengan taqwanya, seorang pemimpin melaksakan tugasnya dengan penuh amanah.
Kelima, hukuman setimpal. Pada galibnya, orang akan takut menerima risiko yang akan mencelakakan dirinya, termasuk bila ditetapkan hukuman setimpal kepada para koruptor.
Keenam, pengawasan masyarakat. Masyarakat dapat berperan menyuburkan atau menghilangkan korupsi. Masyarakat yang bermental instan akan cenderung menempuh jalan pintas dalam berurusan dengan aparat dengan tak segan memberi suap dan hadiah. Sementara masyarakat yang mulia akan turut mengawasi jalannya pemerintahan dan menolak aparat yang mengajaknya berbuat menyimpang.
Apakah, bila cara-cara tadi ditempuh, korupsi pasti bisa ditumpas?
Ya, Insya Allah. Asal usaha itu diikuti pula oleh penataan atau bahkan perubahan sistem. Mengapa? Karena korupsi sesungguhnya hanya merupakan buah dari sistem yang korup, yaitu sistem kapitalisme. Sistem ini mendorong orang menjadi berpandangan materialistik. Semua hal dihitung dan diletakkan dalam konteks material. Tak heran, bila semua hal baik itu jabatan, kewenangan, ijin, lisensi, keputusan hukum, kebijakan pemberitaan, peraturan perundang-undangan dan sebagainya, juga mestinya harus bisa dibuat agar memberikan keuntungan material. Dari sinilah sesungguhnya hasrat korupsi itu timbul. Oleh karena itu, bila benar-benar ingin menghilangkan korupsi dari bumi Indonesia, maka selain harus dibersihkan dari birokrat yang korup, negeri ini juga harus dibersihkan dari sistem yang korup, yaitu sistem sekuler kapitalistik ini. Sebagai gantinya adalah sistem berdasar syariah yang secara pasti senantiasa akan mengaitkan semua derap hidup manusia di semua aspek kehidupan dengan keimanan kepada Allah SWT, dzat Maha Melihat dan Maha Mendengar.[]
http://www.mediaumat.com/content/view/1041/2/