Dewan Pemerintah Perancis Sahkan UU Larangan Jilbab
Sebuah komisi pemerintah Perancis yang ditunjuk Presiden Jacques Chirac, Kamis (11/12) kemarin merekomendasikan segera diluncurkannya undang-undang baru soal pelarangan ditampilkannya simbol-simbol agama secara mencolok, termasuk Hijab, di sekolah-sekolah negeri.
Seorang sumber di Komisi Larangan Hijab beranggotakan 20 orang yang diketuai bekas menteri Bernard Stasi itu mengatakan pada IslamOnline, bahwa UU Larangan Jilbab setebal 50 halaman itu tidak membenarkan jilbab ditampilkan di institusi-institusi publik.
Alasannya, pelarangan itu untuk kepentingan warga Muslim sendiri, yakni untuk menghindari sikap kebancian terhadap Muslim atau kelompok minoritas lainnya.
Komisi itu juga merekomendasikan, bahwa Perancis akan mengambil langkah yang belum pernah dilakukan sebelumnya oleh seluruh negara Eropa. Yakni pemerintah akan menambahkan hari libur bagi kelompok Yahudi dan Muslim di sekolah-sekolah negeri dalam kalender libur nasional.
Keputusan itu dengan mempertimbangkan bahwa Yom Kippur – Hari Penebusan Dosa Yahudi – dan Idul Adha bisa dirayakan di sekolah-sekolah. Undang-undang baru itu juga merekomendasikan bahwa perusahaan-perusahaan boleh memberi kesempatan para pekerjanya untuk memilih libur agama. Misalnya hari Yom Kippur, Idul Adha, atau Natal bagi kaum Kristen Ortodoks untuk menambah jumlah hari libur mereka.
Perancis baru-baru ini memperingati 11 jenis hari libur umum, kebanyakan berdasarkan pada perayaan-perayaan agama Katolik Roma. Ini sebagai gambaran, pemeluk Katolik Roma menjadi warga mayoritas dari jumlah 60 juta penduduk Perancis.
Komisi itu juga merekomendasikan agar ditunjuk imam-imam atau khotib-khotib bagi tahanan Muslim, sebagaimana diminta oleh Dewan Muslim Perancis.
Presiden Chirac diharapkan akan segera mengumumkan, apakah ia mendukung rekomendasi Komisi Stasi itu dalam pidato publiknya, yang akan disampaikan pada Rabu (17/12) mendatang.
Komisi Stasi telah mengumpulkan seluruh laporannya berdasarkan kesaksian sekitar 120 warga, termasuk kalangan Muslimah yang mengenakan hijab, ketua-ketua parpol di Perancis, wakil-wakil organisasi HAM, para intelektual dan para penulis.
Kepada masyarakat diajukan pertanyaan sekitar pandangan mereka tentang penerapan sekularisme di Perancis. Begitu juga soal isu-isu simbol agama, khususnya pemakaian jilbab di sekolah-sekolah dan institusi-institusi publik lainnya.
Hari Jum’at (5/12) lalu, Komisi Stasi mendengarkan sejumlah kesaksian 2 wanita Perancis berjilbab dan seorang wanita Muslim lainnya yang tak mengenakan jilbab.
Isu tentang jilbab belakangan ini mencuat dan menimbulkan pro-kontra secara luas di Perancis. Khususnya setelah pendirian Badan Perwakilan Muslim yang pertama kali di negara itu.
Sehari berikutnya, (Sabtu, 6/12), Chirac menyatakan sikap permusuhannya terhadap sekitar 5 juta warga Muslim Perancis dengan mengatakan, “jilbab merupakan bentuk agresi bagi warga Perancis.”
Statement-statement itu dicetuskan Chirac dalam pertemuan dengan para siswa Pierre Mendes-France Schoo di ibukota Tunisia. Dia mengatakan, “Mengenakan kerudung, apakah itu keinginan sendiri atau tidak, adalah merupakan bentuk agresi yang sulit bagi kami untuk menerimanya.” Chirac berada di Tunisia dalam rangka menghadiri pertemuan dua hari 5 negara Eropa yang dilangsungkan di negara tetangga Afrika Utara itu.
Sementara itu PM Perancis Jean-Pierre Raffarin, 28 Nopember lalu mengukuhkan tawaran UU larangan jilbab yang diajukan oleh partainya yang saat ini sedang berkuasa, untuk segera diluncurkan.
Namun Menteri Dalam Negeri Nicolas Sarkozy jauh sebelumnya telah menentang peraturan semacam itu. Karena dia menilai, undang-undang itu akan memprovokasi kalangan Muslim melakukan aksi-aksi balasan. Mereka boleh jadi akan memandang undang-undang itu sebagai bentuk “serangan dan hukuman” terhadap kelompok Islam. (stn/iol/eramuslim)
http://swaramuslim.net/more.php?id=A1171_0_1_0_M