Advertisement

Responsive Advertisement

Dhani: RUU Perzinahan Lebih Penting daripada Nikah Siri

01/03/2010 - 18:00
Dhani: RUU Perzinahan Lebih Penting daripada Nikah Siri
Ferry Noviandi
INILAH.COM, Jakarta - Ahmad Dhani menolak RUU Nikah Siri, karena ia beranggapan nikah siri tidak melangar agama. Namun Dhani lebih setuju dibuatnya RUU Anti Kumpul Kebo.
"Seharusnya ada RUU Anti Seks Bebas atau RUU Anti Kumpul Kebo yang harus dibuat sebelum RUU Nikah Siri. Akan sangat konyol jika pemerintah tidak peduli terhadap perzinahan," tukas Dhani usai menjadi pembicara dalam diskusi RUU Nikah Siri, di Gedung DPR MPR, Jakarta, Senin (1/3).
Kalau pun RUU Nikah Siri harus disahkan, Dhani meminta Majelis Ulama Indonesia (MUI) terlebih dahulu mengharamkan nikah siri.
"MUI harus menyatakan nikah siri haram. Baru RUU Nikah Siri bisa disahkan. Jika MUI mengharamkan nikah siri, baru saya setuju RUU Nikah Siri disahkan. Saya ikut pendapat MUI," ujar Dhani. [mor]

http://www.inilah.com/news/read/2010/03/01/374451/ahmad-dhani-ruu-perzinahan-lebih-penting-daripada-nikah-siri/





=========================================================================



20/02/2010 - 10:28
Mengkriminalkan Sesuatu Yang Halal

(Istimewa)
Kriminalisasi dalam arti yang sesungguhnya adalah proses penetapan suatu perbuatan sebagai tindak pidana baik dalam undang-undang hukum pidana maupun dalam undang-undang di luar hukum pidana.
Hakikat dari suatu perbuatan adalah tindak pidana ataupun bukan terletak pada ada atau tidaknya sanksi pidana atas pelanggaran suatu kaedah hukum berupa perintah (gebod), larangan (verbod) dan kebolehan (mogen).
Bisa saja satu kaedah hukum juga berisikan perintah, larangan dan kebolehan, tetapi jika ia tidak mengandung sanksi berupa pidana maka mungkin itu adalah kaedah hukum lain di luar hukum pidana (hukum perdata atau hukum tata negara).
Pengertian Perkawinan menurut Pasal 1 UU No 1/1974 adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Undang-undang menyatakan seorang pria dengan seorang wanita, bukan seorang pria dengan wanita-wanita.
Secara asasi, UU No 1/1974 menganut asas monogami yang tampak dalam ketentuan Pasal 3 yang menyatakan bahwa pada asasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang istri. Seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami.
Dalam ayat (2) dinyatakan bahwa pengadilan, dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan.
Adapun syarat-syaratnya diatur dalam Pasal 4 yang menyatakan bahwa dalam hal seorang suami akan beristri lebih dari seorang, maka ia wajib mengajukan permohonan kepada pengadilan di daerah tempat tinggalnya.
Pengadilan hanya memberikan izin kepada seorang suami yang akan beristri lebih dari seorang apabila istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri.
Sesungguhnya UU No 1/1974 melarang adanya poligami. Masalahnya kemudian adalah bahwa ternyata pelanggaran atas ketentuan undang-undang ini tidak diberikan sanksi berupa pidana.
Karena itulah, perbuatan menikahi lebih dari seorang wanita bukanlah merupakan tindak pidana. Namun demikian, di dalam Hukum Administrasi Negara, perkawinan seorang pria Pegawai Negeri Sipil dengan lebih dari seorang wanita akan diberi sanksi terberat yaitu pemberhentian sebagai Pegawai Negeri.
Pernikahan kedua yang lazim disebut dengan nikah siri tidak dapat dibuktikan karena proses akad nikah yang tidak resmi ini tidak diresmikan melalui lembaga yang berwenang dalam hal ini KUA untuk penduduk beragama Islam melainkan melalui sarana nikah secara agama saja, sah secara agama tetapi tidak sah berdasar hukum negara.
Sementara hukum pembuktian menuntut adanya bukti surat yang dalam KUHAP disebutkan surat otentik dari instansi yang berwenang mengeluarkannya. Atas kelemahan pembuktian inilah, banyak pria menggunakannya untuk melakukan apa yang disebut sebagai nikah siri. Meskipun istri pertama yang sah tidak setuju, si istri sah tidak bisa berbuat apa-apa.
Dalam hal ini, hukum telah mengabaikan kepentingan istri pertama yang sah. Sementara untuk istri kedua yang dinikahi secara siri, walaupun secara syariat tidak bermasalah, secara hukum negara bermasalah. Anak yang dilahirkan dari proses nikah siri tidak mendapat pengakuan dari negara.
Kedudukan istri kedua tadi juga tidak sama di depan hukum dengan istri pertama. Dalam hal ini telah pula terjadi pengabaian hukum negara atas istri kedua yang sah secara agama tetapi tidak sah di depan hukum negara.
Dengan fakta demikian, jelaslah kiranya untuk menyimpulkan bahwa sistem hukum perkawinan saat ini, baik bersumber pada UU Perkawinan maupun bersumber pada KUHP tidak memberikan keadilan yang cukup baik.
Atas kesimpulan itu, maka sesungguhnya tidaklah berlebihan jika pemerintah mengusulkan RUU Perkawinan yang memberi sanksi pidana bagi pria atau wanita yang melakukan nikah siri.
Walaupun ia sah secara agama, tetapi jika dalam konteks hukum negara ia menimbulkan ketidakteraturan, ketidakadilan, ketidakpastian, dan kemanfaatan.
Terlepas dari dukungan atas kriminalisasi nikah siri, ada satu hal yang jangan sampai terlupakan atau luput dari pengaturan karena pelarangan nikah siri, berpotensi membuka peluang makin maraknya seks bebas, atau dalam konteks sosial sering disebut sebagai istri simpanan.
Jika nikah siri dikriminalisasi, apakah mempunyai istri simpanan boleh dilakukan? Demikian juga hubungan seks di luar pernikahan, apakah juga tetap merupakan perbuatan yang tidak dilarang mengingat KUHP tidak melarang hubungan seks di luar perkawinan sepanjang tidak ada unsur paksaan?
Jika ini yang terjadi, maka sungguhlah hukum perkawinan kita akan sangat aneh, karena mengkriminalkan sesuatu yang sebenarnya halal, tetapi justru melegalkan sesuatu yang sesungguhnya haram di mata masyarakat dan agama.
Hukum yang berlaku idealnya bersumber dari nilai-nilai filosofis termasuk agama dan nilai-nilai sosiologis.
Vino Siregar
Pemerhati Masalah Politik dan Sosial
http://www.inilah.com/news/read/citizen-journalism/2010/02/20/356992/mengkriminalkan-sesuatu-yang-halal/